Blog Seputar Kajian Islam, Al - Quran , Asmaul Husna, Juz Ke 30, Ayat Kursi, Doa-Doa, Bacaan Surat, Bacaan Doa, Kata Kata

Sejarah dan Makna 1 Muharram Tahun Baru Islam Hijriyah | Bulan Muharram | 10 Muharam

Makna 1 Muharram Tahun Baru Islam Hijriyah  -  Muharram (Arab: المحرم) adalah bulan pertama dalam kalender Islam. Ini adalah salah satu dari empat bulan suci tahun ini.  Sejak kalender Islam adalah kalender lunar, Awal Muharram bergerak dari tahun ke tahun jika dibandingkan dengan kalender Gregorian.

Kata "Muharram" berarti "Terlarang" dan berasal dari kata haram, yang berarti "berdosa". Hal ini dianggap bulan paling suci kedua, berikut Ramadhan. Beberapa warga Muslim berpuasa sepanjang hari ini. Hari kesepuluh Muharram adalah hari Asyura, Beberapa warga Muslim berpuasa sepanjang hari ini, karena tercatat dalam hadits  yang Musa (Musa) dan kaumnya memperoleh kemenangan atas Firaun Mesir pada hari 10 Muharram; sesuai Muhammad meminta umat Islam untuk berdoa pada hari ini yaitu Asyura dan pada hari sebelum yang 9 (disebut Tasu`a).

Puasa berbeda antara kelompok Muslim; banyak Muslim  Muslim Sunni juga cepat selama Muharram selama sepuluh hari pertama Muharram, atau hanya hari kesepuluh, atau pada kedua hari kesembilan dan kesepuluh; istilah yang tepat tergantung pada individu. 
Makna 1 Muhrram Tahun Baru Islam Hijriah | Bulan Muharram | 10 Muharam

KEISTIMEWAAN BULAN MUHARAM

Didalam surat at-Taubah:36 Allah telah menetapkan bahwa dari 12 bulan dalam kalender qamariah ada 4 bulan yang ditetapkan oleh Allah sebagai bulan terhormat. Hal itu dipertegas dan diperjelas oleh Rasululullah dalam hadis riwayat Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad, salah satu di antaranya bulan Muharram.

Kehormatan ke-4 bulan ini diakui bahkan dijaga oleh orang Arab pada masa jahiliyyah, hingga mereka tidak mau membalas, bahkan membunuh orang yang membunuh orang tua mereka ketika bertemu pada bulan-bulan itu. Penghormatan bagi ke-4 bulan ini menunjukkan adanya sesuatu yang istimewa. Salah satu di antara keistimewaan bulan muharram sebagaimana diterangkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa pada bulan Muharam tepatnya hari ke-10 Allah Swt. menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari kejaran raja Fir’aun dan tentaranya.

Peristiwa ini diperingati oleh kaum Yahudi dengan melaksanakan shaum pada tiap tanggal 10 muharram yang disebut shaum asyura, bahkan mereka menjadikan hari asyura sebagai hari raya. Hal ini diterangkan oleh sahabat Abu Musa al-Asy’ari :

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تُعَظِّمُهُ اليَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا ، متفق عليه -
Hari Asyura itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya hari raya.
Shaum ini pun biasa dilaksanakan oleh kaum Nashrani dan musyrikin Quresy pada masa jahiliyah dengan alasan masing-masing.

Dengan keterangan-keterangan tersebut jelaslah, bahwa bulan muharam dianggap istimewa oleh Kaum Jahiliyah Quraesy dan Kaum Yahudi karena adanya sesuatu yang dianggap penting oleh mereka sehingga mereka memperingatinya dengan melaksanakan shaum tiap tanggal 10 muharram yang disebut saum asyura.

Kebiasaan Yahudi dan Nashrani dalam memperingati peristiwa-peristiwa penting, khususnya bulan muharram beratsar atau memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap sebagian muslim, di antaranya
  1. Orang syi’ah mengganggap bahwa bulan muharram dianggap sebagai hari bersejarah yakni terbunuhnya husen di padang Karbala pada 10 Muharram, sehingga diperingati oleh mereka dengan cara yang berlebihan bahkan melanggar syariat Islam, yaitu memakai pakaian hitam-hitam, berkabung, bahkan memukul-mukul tubuh hingga berdarah. Demikian pula tanggal 25 Muharram sebagai peringatan terbunuhnya Ali Zainal Abidin
  2. Sebagian orang ada yang menganggap bahwa bulan Muharam itu adalah bulan keramat sehingga melakukan berbagai acara dan upacara, seperti bubur asyura.
  3. Sebagian menganggap bulan muharram sebagai bulan hijrahnya Rasul ke madinah sehingga diperingati dengan berbagai acara dan upacara yang beragam.

Kapan sebenarnya Rasul hijrah ke Madinah?

 Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).

Keterangan ini menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram. Antara permulaan hijrah Nabi dan bulan Muharam ketika itu terdapat jarak atau sudah terlewat sekitar 82 hari. (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Karena itu, penetapan bulan Muharram oleh Umar bin Khatab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Sebagai bukti, beliau tidak menetapkan bulan Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai permulaan bulan pada kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram maupun Rabi’ul Awwal, selama kekhalifahannya. Demikian pula khalifah sesudahnya.

Dengan demikian, peringatan tahun baru hijriah dan pengangungan bulan Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram.

Demikian pula menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah, seperti muhasabah, mabit (bermalam di masjid), ceramah, mendengarkan bacaan Alquran, tahajjud berjamaah, berdoa bersama-sama, renungan malam, dan lain-lain tidak bersumber dari ajaran Rasul.

Yang jelas Asal Muasal Peringatan tahun baru hijriah tiap 1 Muharam baru dimulai sejak tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan muslim di Amerika Serikat. Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jemaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival. (Lihat, Pikiran Rakyat Online)

Bagi kaum muslimin bulan Muharram dianggap istimewa bukan karena adanya satu peristiwa yang terjadi pada bulan itu, tetapi karena ada syariat yang ditetapkan oleh Allah, yakni pelaksanaan shaum sunat.

Pada mulanya, yaitu ketika tahun pertama setelah Rasul melakukan hijrah dari Makah ke Madinah pada bulan Rabi’ul awal, shaum ini hukumnya wajib. Baru setelah datang kewajiban shaum bulan Ramadan pada tahun ke-2 hijrah, shaum ini beralih hukumnya menjadi sunat, dan pelaksanaannya hanya satu hari tanggal 10 muharram.

Ketika Rasulullah dan para sahabat telah merasa kurang nyaman melakukan shaum yang sama persis dilakukan oleh kaum Jahiliyah, Yahudi dan Nasara, beliau mencanangkan untuk melakukan perbedaan. Hal ini tergambar di dalam sebuah hadits sebagai berikut :


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : لمَاَّ صَامَ رَسُولُ اللهِ  يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَ أَمَرَ بِصَيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ : فَإِذَا كَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ . قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ العَامُ المُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ  . – رواه أحمد و مسلم -
Dan Dari Ibnu Abas, ia mengatakan,” Ketika Rasulullah saw. melakukan Shaum Asyura dan beliau memerintah (para sahabat) untuk melakukannya. Mereka berkata, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu merupakan hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’ Beliau menjawab,’Nanti tahun depan insya Allah kita akan melaksanakan shaum tanggal sembilannya’ Ia berkata, ‘Tetapi tahun depan itu belum datang dan Rasulullah saw. telah berpulang keharibaan-Nya.”-H.R.Muslim dan Abu Daud -
Bahkan di dalam periwayatan lain Masih dari Ibnu Abas, ia mengatakan :

قاَلَ رَسُولُ اللهِ  لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ َلأَصَومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ .- رواه أحمد و مسلم -
Rasulullah saw, telah bersabda,”Jika aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya yaitu hari Asyura”- H.R.Ahmad dan Muslim -
Rasululah saw. sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal sembilan Muharam ini, tetapi rencana beliau untuk melaksanakannya membuktikan sunahnya shaum tanggal sembilan ini. Dan para ulama menyebutnya sunah hammiyyah Rasulullah (sunah rencana dan cita-cita Rasulullah)

Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa pada mulanya saum sunat muharram hanya dilaksanakan satu hari tanggal 10 muharram yang disebut Asyura. Namun untuk membedai Kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani Rasulullah saw. memerintahkan agar kita melakukan shaum sehari sebelumnya yaitu tanggal sembilan Muharam yang disebut tasu’a. Sehingga pelaksnaan saum sunat muharaam disyariatkan dua hari tanggal sembilan dan sepuluh bulan Muharam yang disebut saum Tasu’a asyura.

Sedangkan keutamaannya shaum Muharam ini akan menghapus dosa-dosa. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah ra.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ  قاَلَ : أَفْضَلُ الصِّياَمُ بَعْدَ رَمَضَانِ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ. – رواه مسلم -
Artinya : Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi Saw. bersabda, “Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah bulan Allah Muharam”. (H.R. Muslim)
Menisbahkan bulan Muharam kepada Allah ini hanyalah untuk mengagungkan bulan tersebut. Sebab pada hakikatnya, semua bulan-bulan dan hari-hari itu seluruhnya milik Allah Swt.
Disamping memiliki keutamaan, shaum Muharam dapat menghapus /menutup dosa-dosa yang telah lalu. Sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah riwayat :

وَصُومُ يَوْمِ عاَشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةَ مَاضِيَةٍ. – رواه مسلم و غيره -
Artinya : Shaum hari Asyura dapat menutupi (dosa) satu tahun yang telah lalu. (H.R. Muslim dan yang lainnya)

Makna 1 Muharram dan Hikmah dari Peristiwa Hijrah Nabi

Beberapa hikmah yang dapat dipetik dari Hijrahnya Nabi dan para sahabat dari Mekah ke Madinah saat itu adalah:
Pertama: perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki mkjna yang sangat berarti bagi setiap Muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Mekah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Kedua: Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik lagi. Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda mereka.
Ketiga: Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya pada waktu itu.
Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan kaum Muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullha dan berkata: “Wahai Rasulullah,saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir”, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit darisebelah barat”.

Merupakan Bukti Maha Adilnya Allah

Berbeda dengan tahun Masehi, permulaan hari atau pergantian hari bukan di pagi hari atau jam 00.01, tetapi di saat terbenamnya matahari atau munculnya bulan. Itulah sebabanya Tahun Masehi (dari Isa Al Masih) dalam Islam disebut Tahun Syamsyiah (matahari), sedangkan Tahun Hijriah atau Tahun Islam disebut juga Tahun Qomariah (bulan). Kalau Tahun Masehi, setiap bulan terdiri dari 30 hari atau 31 hari, kecuali Februari yang 28 atau 29 hari, tetapi bulan Hijriah terdiri dari 29 dan 30 hari.

Itulah sebabnya, terdapat selisih sekitar 10-12 hari setiap tahun, ada pergeseran kegiatan keagamaan Islam pada tahun Masehi. Sebagai contoh, hari raya Idul Fitri atau 1 Syawal pada tahun 2010 jatuh pada tanggal 10 September, tapi pada tahun 2009, Idul Fitri bersamaan dengan 22 September. Sehingga tidak heran kalau ada saatnya dimana tahun baru Islam (1 Muharam) hampir bersamaan dengan Tahun Baru Masehi (1 Januari).
Dengan perbedaan antara bulan Hijriah dengan bulan Masehi itu, maka bulan Ramadhan atau bulan Puasa setiap tahun bergeser sekitar 10-12 hari setiap tahun Masehi, sehingga suatu saat bulan Ramadhan bersamaan dengan bulan Juni, dan ada saatnya tahun kemudian puasa dilaksanakan bulan Desember.

Berbeda dengan Indonesia dan Negara-negara tropis, hampir tidak ada perbedaan lamanya berpuasa untuk sepanjang tahun, yaitu bulan Januari s/d Desember berpuasa sekitar 14 jam (jam 4 pagi sampai 18.00), tapi di Negara-negara yang mengalami empat musim seperti di Eropa dan Amerike Serikat dan Kanada, juga Australia dan Selandia Baru, lamanya berpuasa sangat bervariasi.

Sebagai contoh bila bulan puasa bertepatan dengan bulan Juni atau Musim Panas di Eropa, maka penduduk yang tinggal di belahan bumi Bagian Utara akan berpuasa sampai 18-20 jam, mulai jan 02 dinihari (Imsyak) sampai jam 22.00 malam baru berbuka, karena matahari baru terbenam.

Keadaan sebaliknya yang dialami oleh penduduk di belahan Bumi Bagian Selatan seperti Australia dan Selandia Baru. Karena bulan Juni adalah Musim Dingin (Winter), maka waktu Imsyak sekitar jam 6.00 pagi dan waktu Magrib sekitar jam 16.00 sore, sehingga mereka hanya berpuasa sekitar 10 jam saja.

Keadaan sebaliknya terjadi bila bulan Desember, maka umat islam yang tinggal di belahan bumi Bagian Utara berpuasa lebih singkat, dan sebaliknya yang di belahan Selatan lebih lama (berbanding terbalik). Sedangkan pada bulan Maret dan September dimana matahari persis ada di Khatulistiwa, kaum Muslimin di belahan Utara dan Selatan berpuasa dengan jumlah jam yang sama, sekitar 12 jam.

Disitulah salah satu bukti betapa adilnya Allah, di daerah dekat Equator (Khatulsitiwa) seperti Indonesia, Malysia dan Negara-negara Arab dimana umat Islam terbesar ada di sana atau daerah Sub Tropis, fluktuasi lamanya berpuasa setiap tahun hampir tidak berbeda banyak.
Seandainya, bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan bulan Masehi, misalnya bulan Juni, kasihan umat Muslim di bagaian Utara yang harus puasa sampai 18-20 jam dengan temparatur sangat panas di atas 50 derajat C, setiap tahun seperti itu, dan orang di belahan Selatan puasanya sangat singkat. Kan sangat tidak adil?. Untungnya Tuhan Maha Adil, sehingga penentuna bulan puasa berdasarkan Tahun Hijriah. bukan Tahun Masehi, Allahu Akbar.

Introspeksi Diri atau Bermuhasabah

Dengan memasuki tahun baru Hijriah, kita akan memasuki 1 Muharram. Yang berarti kita akan meninggalkan tahun lalu, dan memasuki tahun baru , yakni tahun baru 1431 Hijriah. Penyambutan tahun baru ini tidak selayaknya seperti yang dilakukan orang-orang non Muslim saat merayakan tahun baru Masehi, tetapi merayakannya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Sekarang kita masih hidup, tetapi siapa tahu besok atau lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tahun depan, kita akan mati. Sekarang kita masih dapat menikmati tahun baru Hijriah, tetapi siapa tahu tahun depan kita sudah tidak ada?.
Berbahagialah bagi mereka yang memperoleh nikmat umur yang panjang dan mengisinya dengan amalan-amalan yang baik dan perbuatan-perbuatan yang bijak. Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya (HR Ahmad)
Dalam menyambut tahun baru Hijriah, sangat penting bagi kita untuk berkaca diri, menilai dan menimbang amalan-amalan yang telah kita perbuat dan dosa atau maksiat yang telah kita kerjakan. Penilaian ini bukan hanya untuk mengetahui seberapa besar perbuatan amal atau dosa kita, tapi agar tahun mendatang lebih baik dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh serta mengurangi perbuatan dosa dan amal salah.

Kisah Tentang Sahabat Umar bin Khatab tentang Umur Manusia

Adalah satu riwayat yang menceritakan tentang anak Umar bin Khatab, kembali pulang dari sekolahnya sambil menghitung tambalan-tambalan yang melekat di bajunya yang sudah usang dan jelek. Dengan rasa kasihan Umar sang Amirul Mukminin (Pemimpin Kaum Musliminn), sebagai ayahnya mengirim sepucuk surat kepada bendaharawan negara, yang isinya minta agar beliau diberi pinjaman uang sebanyak 4 dirham, dengan jaminan gajinya bulan depan supaya dipotong.

Kemudian bendaharawan itu mengirim surat balasan kepada Umar, yang isinya demikian : “Wahai Umar, apakah engkau telah dapat memastikan bahwa engkau masih hidup sampai bulan depan?. Bagaimana kalau engkau mati sebelum melunasi hutangmu? Membaca surat bendaharawan itu, maka seketika itu juga Umar tersungkur menangis, lalu beliau menasehati anakanya dan berkata : “Wahai anakku, berangkatlah ke sekolah dengan baju usangmu itu sebagaimana biasanya, karna akau tidak dapat memperhatikan umurku walaupun untuk satu jam” Sungguh, batasan umur manusia tidak ada yang mengetahuinya, kecuali hanya Allah SWT semata.

Oleh karena keterbatasan tersebut, dan karena rahasia Allah SWT semata, maka marilah kita pergunakan kesempatan hidup ini dengan meningkatkan taqwa kita kepada-Nya dan menambah semangat beramal ibadah yang lebih banyak lagi.

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum Muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.
Dalam agama ini, bulan Muharram, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.



إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوام

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari seba

Mengapa Disebut Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.

Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah’ (rumah Allah) atau ‘Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut.
Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah.. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”
Silah Baca Juga :

Demikianlah Pembahasan mengenai Muharram dan Mudah-mudahan apa yang dikemukakan ini menjadikan motivasi untuk melaksanakan sunnah Nabi Saw., sehingga dapat melaksanakannya sesuai dengan yang semestinya.
Wallahu a’lam bish shawab
Facebook Twitter

Contact Form

Name

Email *

Message *

Back To Top